Senin, 12 Mei 2008

Bermodalkan Cincin Mas Kawin

Abdurohim Raih Penghargaan UKM Beromzet Di Atas Rp50 Juta 

Cilegon - Abdurohim, warga Kampung Citangkil, Kota Cilegon, Banten
yang menekuni usaha makanan ringan (snack) rumahan (home industri)
dengan nama Dewi Mulya Snack, mampu menyabet dua penghargaan
sekaligus. Padahal usaha ini diawali dengan modal hasil menjual
cincin mas kawinnya seharga Rp 60.000.

Penghargaan pertama berasal dari Kementrian Pemuda dan Olahraga
karena memenangkan Lomba Inovasi Bisnis Pemuda Bidang Makanan dan
Minuman akhir Januari 2005. Penghargaan kedua dari Citibank berkerja
sama UNCD atas usaha kecil menengah (UKM) dengan omzet di atas Rp 50
juta per bulan pada tanggal 8 Desember 2005.

"Dengan uang penjualan mas kawin sebesar Rp 60.000 pada awal tahun
2001, saya bisa mendapatkan uang Rp 700.000. Saya bilang ke istri,
mungkin ini jalan hidup saya setelah mengalami kegagalan di usaha-
usaha lainnya seperti pembuatan batako, genteng semen, perkayuan dan
sebagainya," kata Abdurohim kepada bantenlink.com di rumahnya di
Kampung Citangkil, belum lama ini.

Makanan ringan yang dihasilkan Abdurohim antara lain keripik pisang,
singkong, ubji (mantang), sukun, keripik bawang dan sebagainya.
Makanan ini dikemas dengan plastik yang rapih dan diberi label Dewi
Mulya Snack berwarna merah. Label ini sudah merajai di pertokoan
yang menjajakan makanan di Cilegon, Serang, Tangerang, Pandeglang,
Lampung dan sebagian dikirim ke Jakarta.

Kini setiap hari, Abdurohim membeli bahan baku dan bahan
penunjangnya sekitar Rp 750.000 per hari. Bahan baku itu berkisar
300 kg per hari yang terdiri dari singkong, pisang, ubi/mantang,
sukun dan sebagainya. Dari modal sebesar itu, dia mengaku
menghasilan uang rata-rata Rp 1,4 juta - Rp 2 juta per hari.


Masih tradisional

Dia megaku, pemasarannya masih menggunakan cara tradisional, yaitu
diantarkan sendiri ke toko-toko yang sudah menjadi langganannya yang
berada di sejumlah kota di Provinsi Banten. Sedangkan di luar
Banten, para pelanggan mengambil sendiri ke tempat usahanya.

"Perkembangan modal dan orang-orang di sini masih terbatas. Saya dan
istri yang mengelola. Saya bertugas mencari bahan baku dan
memasarkan, sedangkan istri saya mengawasi pembuatan keripik,
mencatat keuangan dan sebagainya," katanya, seraya menunjukan
catatan keuangan yang sangat sederhana di sebuah buku tulis yang
biasa digunakan untuk anak-anak sekolah.

Tempat produksi Dewi Mulya Snack ini sangat sederhana, hanya sebuah
rumah di Kampung Citangkil dengan 2 kamar. Tak ada papan nama atau
tanda-tanda yang menunjukan rumah itu merupakan produksi makanan
ringan. Begitu masuk ke ruangan tengah, baru terlihat tumpukan
bermacam-macam keripik, sebuah meja sederhana untuk administrasi.
Kedua kamar itu rupanya digunakan untuk keluarga Abdurohim, istrinya
bernama Siti Rofiah dan anaknya Dewi Nur Azizah.

Suasana home industri itu baru terasa ketika memasuki ruang belakang
yang telah diubah sedemikian rupa. Sepuluh pekerja yang dibagi dalam
4 kelompok terlihat sibuk. Kelompok pertama mengupas bahan baku dan
memotong-potong hingga tipis, kelompok kedua sibuk membuat adonan
untuk keripik bawang, kelompok ketiga tengah menggoreng bahan baku
dan kelompok ke-4 tampak mengemas keripik dengan plastik. Hasil
gorengan itu ditumpuk di ruang tengah rumah.

Mengisahkan hidupnya, Abdurohim yang lahir 1 Januari 1972 di
Banyuwangi mengaku telah mencoba berbagai usaha untuk menafkahi
istri dan anaknya. Usaha yang sempat digeluti antara lain pembuatan
genteng semen, batako, pembuatan kursi kayu dan
sebagainya. "Semuanya gagal, sehingga saya nyaris putus asa dalam
hidup ini. Tak ada makanan dan sudah tak punya apa-apa," katanya
seraya menunjukan cetakan untuk genteng semen yang kini disimpannya
sebagai kenangan dalam perjalanan hidupnya.

Di tengah keputus-asaannya, lelaki yang pendidikan terakhirnya
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) atau setingkat SLTA itu mampir ke
tetangganya yang punya kebun singkong di Kampung Citangkil. Hasil
kebun itu tak dihargai sama sekali oleh pemiliknya karena harga
penjualannya hanya Rp 300 per kg pada awal tahun 2001. Bahkan,
pemilik singkong itu membolehkan singkongnya diambil dengan
pembayaran di belakang hari, atau kapan saja Abdurohim punya uang.


Jual Mas Kawin

Namun bahan baku itu belum bisa diolah. Pasalnya, dia tak punya uang
untuk membeli peralatan untuk menggoreng, minyak goreng dan bahan
penunjang lainnya. Istrinya, Siti Rofiah merelakan cincin kawinnya
dijual dengan harga Rp 60.000. Maka Abdurohim dan istrinya bekerja
keras, memotong tipis, menggoreng dan mengemas sendiri produksi

Tidak ada komentar: