Selasa, 23 Oktober 2007

Defenisi Asuransi Syari'ah

Asuransi Syari’ah
Sumber : www.syariahonline.com

Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan
perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada
nasabah/klien- nya (muamman) sejumlah harta sebagai
konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk
imbalan, Gaji, atau ganti rugi barang dalam bentuk
apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau
terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam
akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang
dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan
dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada
perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.

Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa
asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti
rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya
diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.

Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:

A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang
memiliki atau berkepentingan atas harta benda

B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi,
merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari
Tertanggung dan menanggung risiko atas
kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang
diasuransikan

A. Asuransi Konvensional

A. Ciri-ciri Asuransi konvensional

Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional,
diantaranya adalah:

1. Akad asuransii konvensianal adalah akad mulzim
(perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah
pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua
kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung menbayar
primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar
uang asuransi jika terjadi peristiwa yang
diasuransikan.

2. Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu
akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat
mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.

3. Akad asuransi ini adalah akad gharar karena
masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan
tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak
mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia
ambil.

4. Akad asuransi ini adalah akad idzan (penundukan)
pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena
dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak
dimiliki tertanggung,

B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam

Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di
Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat
di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga
ditinjau dari sudut pandang agama Islam.

Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi
itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama
halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan
memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana
firman Allah SWT, yang artinya:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S.
Hud: 6)

“Dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari
langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan
(yang lain)?” (Q. S. An-Naml: 64)

“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi
keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula)
makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi
rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)

Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah
sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk
keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan
mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu
mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.

Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah
merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa
depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini
tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka
masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu
masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya
perbedaan pendapat sukar dihindari.

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi
ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka
perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:

I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya,
temasuk asuransi jiwa

Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah
al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan
Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”).
Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:

- Asuransi sama dengan judi

- Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.

- Asuransi mengandung unsur riba/renten.

- Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang
polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran
preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di
kurangi.

- Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam
praktek-praktek riba.

- Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata
uang tidak tunai.

- Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan
sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

II. Asuransi konvensional diperbolehkan

Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf,
Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada
fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf
Musa (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo
Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab
al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka
beralasan:

- Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang
asuransi.

- Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.

- Saling menguntungkan kedua belah pihak.

- Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab
premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk
proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.

- Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)

- Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).

- Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem
pensiun seperti taspen.

III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan
yang bersifat komersial diharamkan

Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad
Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas
Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan
kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat
komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok
kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat
adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau
tidak haramnya asuransi itu.

Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah
asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat
ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang
keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang
mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang
benar.

Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu
jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif
baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut
ketentuan agama Islam. Dalam keadaan begini, sebaiknya
berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW : “Tinggalkan
hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada
hal-hal yang tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)

Asuransi syariah

A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah

Suatu asuransi diperbolehkan secara syari, jika tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan
syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun
(kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak
berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata.
Allah SWT berfirman, “Dan saling tolong menolonglah
dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan.”

2. Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi
tabarru’ atau mudhorobah.

3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian),
oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau
terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.

4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah
yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat
membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari
uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna
membantu orang yang sangat memerlukan.

5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah
kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan
yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi
ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu
menurut izin yang diberikan oleh jamaah.

6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus
dijalankan menurut aturan syar’i.

B. Ciri-ciri asuransi syari’ah

Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya
adalah sebagai berikut:

1. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’,
sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali.
Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan
akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi
peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai
dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak
lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah
kentungan hasil mudhorobah bukan riba.

2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian
yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak.
Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak
bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada
imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui
izin yang diberikan oleh jama?ah (seluruh peserta
asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).

3. Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih
kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil
menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.

4. Akad asuransi syariah bersih dari gharar dan riba.

5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang
kental.

C. Manfaat asuransi syariah.

Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam
menggunakan asuransi syariah, yaitu:

1. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan
di antara anggota.

2. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat
Islam saling tolong menolong.

3. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang
syariat.

4. Secara umum dapat memberikan perlindungan-
perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu
pihak.

5. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu
secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan
untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak
tenaga, waktu, dan biaya.

6. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan
mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak
perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul
yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.

7. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada
pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi
peristiwa atau berhentinya akad.

8. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan
usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja) .

Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi
konvensional.

A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi
syari’ah.

Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik
kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi
syariah, diantaranya sbb:

1. Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari
masing-masing pihak.

2. Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para
anggota

3. Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad
mustamir (terus)

4. Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan
masing-masing pihak.

B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi
syariah.

Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah
memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.

Pertama, keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam
perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan.
Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk
serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan
dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi
konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

Kedua, prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli
(tolong-menolong) . Yaitu nasabah yang satu menolong
nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan.
Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli
(jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).

Ketiga, dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan
asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan
syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah) .
Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana
dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.

Keempat, premi yang terkumpul diperlakukan tetap
sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai
pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada
asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan
dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk
menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.

Kelima, untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah,
dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial)
seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan
tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran
klaim diambil dari rekening milik perusahaan.

Keenam, keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah
selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku
pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam
asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi
milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak
memperoleh apa-apa.

Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar
syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah
bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya
penyimpangan- penyimpangan syariat yang ada dalam
asuransi tersebut.

Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari
bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang
menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan
asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah
yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti
bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami
paparkan di muka.

Wallahu a‘lam bishshowab.

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Sumber : www.syariahonline.com

3 komentar:

Anonim mengatakan...

terima kasih atas dimuatnya artikel yang sangat berguna ini...

ariemedia mengatakan...

keep posting bro.salam kenal dr anak masigit

IF mengatakan...

lam kenal, berkunjung sambil baca2