Kamis, 10 April 2008

Biofuel dan Kemiskinan

Mengapa target biofuel Uni Eropa bisa membawa bencana bagi kaum miskin?

Jalan menuju transportasi berkelanjutan?
Pada bulan Januari tahun 2007, Komisi Eropa mengumumkan Peta Energi Terbaharui mereka, yang mengusulkan sebuah target wajib agar penggunaan biofuel (bahan bakar biologis) sebagai bahan bakar untuk transportasi menjadi sepuluh persen dari total penggunaan bahan bakar setiap negara anggota sebelum tahun 2020. Di wilayah belahan bumi bagian selatan, target ini menciptakan perlombaan besar-besaran untuk menyuplai kebutuhan biofuel EU (Uni Eropa) tersebut, dan ini membawa ancaman serius kepada penduduk akan terjadinya pengambil-alihan lahan, eksploitasi, dan memburuknya ketersediaan bahan pangan. Adalah suatu hal yang tidak dapat diterima jika penduduk miskin di negara-negara berkembang harus menanggung biaya reduksi emisi di EU. Untuk menghindari hal ini, dalam proposal tersebut, Komisi Eropa harus menyertakan standard-standard sosial dalam kerangka berkelanjutan, dan menyusun mekanisme dimana target sepuluh persen tersebut dapat kemudian direvisi jika terbukti target tersebut malah membawa ancaman bagi penghidupan masyarakat miskin di wilayah tersebut.

Secara prinsip, target tersebut telah disetujui Dewan Uni Eropa pada bulan Maret, dengan syarat target tersebut akan dicapai secara berkelanjutan. Menanggapi hal itu, Komisi Eropa mengadakan sebuah pertemuan konsultasi pada musim semi lalu dan menghasilkan suatu usulan terhadap definisi keberlanjutan, yang mengandung beberapa prinsip lingkungan, namun tanpa prinsip-prinsip sosial. Akhirnya, pada bulan September, Parlemen Eropa meminta adanya skema sertifikasi wajib yang dapat menjamin bahwa biofuel tidak akan menyebabkan, langsung atau tidak langsung, masalah-masalah sosial seperti kenaikan harga bahan pangan dan pemindahan penduduk. Saat ini, Komisi Eropa sedang dalam proses pembuatan draft untuk proposal legislatifnya, yang diharapkan selesai pada tanggal 5 Desember, yang akan menentukan bagaimana biofuel ‘berkelanjutan’ kemudian didefinisikan, dan ukuran-ukuran apa yang layak terkandung di dalamnya.

Sepuluh persen, tapi darimana?
Biofuel adalah bahan bakar cair yang diolah dari bahan-bahan organik; sebagian besar dari tumbuh-tumbuhan. Bahan bakar ini biasanya dicampur dengan bahan bakar fosil yang kemudian digunakan untuk kendaraan bermotor pada umumnya. Ethanol dapat menggantikan bensin, dan diproduksi dari serbuk tanaman mengandung gula seperti jagung dan gandum atau tebu dan lobak. Biodiesel dapat menggantikan solar, dan biasanya diolah dari tanaman penghasil minyak seperti minyak biji lobak dan minyak kelapa sawit.

Alasan EU untuk meningkatkan penggunaan biofuel adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (karbon). Sebenarnya, tingkatan pengurangan gas karbon dari biofuel sangatlah bervariasi, dan bergantung pada jenis bahan baku, praktek pertanian, jalur produksi, dan efek-efek perubahan pada penggunaan lahan. Analisa siklus kehidupan pada faktor-faktor di atas menunjukkan bahwa biofuel yang diproduksi dari tanaman daerah tropis memiliki efek reduksi karbon dan efisiensi yang lebih baik daripada tanaman yang tumbuh di Eropa. Namun EU lebih menyukai bahan baku dari tanaman domestik (Eropa) dengan berbagai pertimbangan dari sudut pandang insentif, subsidi, tarif dan aturan teknis. Hal ini mengundang kritik yang mempertanyakan aspek keberlanjutan dari kebijakan biofuel EU dan motif-motif yang ada dibaliknya..

Sekarang ini, penggunaan biofuel dapat mencapai sekitar satu persen dari kebutuhan bahan bakar transport EU. Dan dengan adanya target tahun 2020 tersebut berarti ada peningkatan permintaan biofuel, pertama karena hal ini berarti terjadinya peningkatan proporsi biofuel dalam total campuran bahan bakar transport dengan faktor sepuluh, dan kedua karena angka ini akan terus meningkat. Untuk mengantisipasi hal ini, EU akan harus mengimpor dari negara-negara berkembang dimana bahan baku biofuel yang lebih efisien seperti tebu dan kelapa sawit dapat dibudidayakan. Negara-negara yang merupakan tempat terbaik untuk budidaya tanaman bahan baku biofuel, di antaranya adalah:

  • Malaysia dan Indonesia, yang memiliki sekitar 80 persen produksi global minyak kelapa sawit, yang diharapkan mampu memenuhi 20 persen dari pasar biofuel Eropa sebelum 2009; dan
  • Brazil, yang memiliki sekitar separuh dari export ethanol dunia, dan diharapkan mampu meningkatkan produksi tebu sebanyak 55 persen dalam kurun waktu enam tahun ke depan supaya bisa mengantisipasi permintaan ethanol dari EU dan US (Amerika Serikat).

Banyak juga negara miskin lainnya yang sedang mencoba berinvestsasi dalam biofuel, dengan harapan bisa mendapatkan bagian dari ‘proyek’ biofuel EU. Wilayah selatan Afrika dikatakan memiliki potensi untuk menjadi “Daerah Timur Tengah” (kaya minyak)-nya biofuel. Laporan terakhir tentang potensi biofuel Tanzania menunjukkan bahwa hampir setengah area negara tersebut sangat sesuai untuk produksi biofuel; pada saat ini, pemerintah Tanzania sedang menjamu perusahaan-perusahaan biofuel sepert Sun Biofuels dari Inggris, untuk membicarakan kemungkinan terjadinya investasi. Di Mozambik, hampir 22 juta hektar – sekitar 40 persen dari luas daratan negara tersebut – telah diidentifikasikan sebagai lahan yang cocok untuk tanaman penghasil biofuel, dimana Eropa sebagai pasar potensialnya.

Berkelanjutan untuk siapa?
Dalam kondisi-kondisi yang tepat, biofuel dapat memberikan peluang-peluang bagi pengentasan kemiskinan melalui sektor pertanian, yaitu terciptanya lapangan kerja bagi para buruh tani dan pasar untuk petani kecil. Proyek biodisel pertama diluncurkan di Brazil pada tahun 2005. Dan dengan menggunakan metode pertanian berkelanjutan, proyek tersebut mampu memberikan mata pencaharian bagi sekitar 25.000 keluarga. Produk biofuel lokal tersebut juga dapat meningkatkan akses energi bagi masyarakat miskin – misalnya program sosial biodisel di Brazil tersebut menargetkan produksi bahan bakar bagi penyediaan sarana listrik di daerah pinggiran.

Sayangnya kondisi-kondisi seperti itu, termasuk kebijakan-kebijakan nasional maupun pemerintahan yang berpihak pada kaum miskin, lingkungan, dan kondisi sosial masyarakat tidak terlihat pada model agro-industri tersebut. Sebaliknya, sedang terjadi perlombaan besar-besaran di kawasan selatan bumi untuk menyuplai pasar biofuel Eropa, dan komunitas miskin semakin tertindas.

Hilangnya Mata Pencaharian
Pembukaan hutan untuk perkebunan biofuel telah meningkatkan keprihatian yang sangat serius dari perspektif lingkungan hidup. Selain itu, jutaan orang juga terancam terusir dari tanah tempat tinggal dan sumber mata pencaharian mereka saat pertarungan biofuel semakin meningkat. Hal ini justru terjadi kepada mereka yang dapat dikategorikan sebagai kelompok masyarakat pinggiran dan termiskin di dunia. Ketua Forum Permanen untuk Isu-Isu Pribumi PBB memperingatkan bahwa 60 juta penduduk asli di seluruh dunia terancam terusir dari tanah dan lahannya untuk perkebunan tanaman biofuel. Lima juta di antaranya berasal dari Indonesia, khususnya di wilayah Kalimantan Barat. Di Kolombia, kelompok-kelompok paramiliter memaksa orang keluar dari tanah mereka dengan todongan senjata api, dan menyiksa serta membunuh mereka yang menolak, dan menggunakan lahan mereka untuk penanaman kelapa sawit, untuk produksi biofuel. Hal ini mengakibatkan terjadinya salah satu krisis pengungsi terburuk di dunia. Kebanyakan tindak kekerasan ini terjadi di daerah masyarakat tradisional penduduk asli dan komunitas keturunan Afrika. Di Tanzania, banyak laporan yang menyebutkan kelompok penduduk tidak berdaya seperti disebutkan sebelumnya dipaksa untuk menyingkir dari tempat tinggal mereka karena lahan mereka akan digunakan bagi perkebunan biofuel.

Saat mereka kehilangan tanahnya, mereka juga langsung kehilangan mata pencahariannya. Banyak yang akan berakhir dalam antrian pencarian pekerjaan yang tidak berkesudahan, lainnya akan masuk dalam siklus berganti-ganti pekerjaan, dan sebagian akan dipaksa bekerja – walaupun dalam kondisi pekerjaan yang tidak layak – di daerah perkebunan yang sebelumnya adalah tanah mereka.

Studi kasus: sengketa lahan di Indonesia
Lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia direncanakan akan dikembangkan dari yang sekarang sekitar enam juta hektar menjadi dua puluh hektar sebelum tahun 2020 – hampir lima kali luas wilayah Belanda. Sawit Watch, partner Oxfam di Indonesia, memperkirakan ada sekitar 400 komunitas yang terlibat dalam sengketa lahan yang berhubungan dengan kelapa sawit. Salah satu wilayah yang sedang mengalami expansi terbesar perkebunan kelapa sawit adalah Kalimantan Barat.

Margaretha Yuniar, 43 tahun, dari desa Kampuh di Kalimantan Barat adalah seorang guru, dan menginginkan ke tiga anaknya mendapatkan pendidikan yang layak. Karena mahalnya biaya pendidikan, untuk menambah penghasilan, pada tahun 1996 dia dan keluarganya memutuskan untuk menggunakan lahan kecil milik mereka untuk budidaya kelapa sawit. Jadi mereka memberikan lahan mereka seluas 7,5 hektar kepada PT Ponti Makmur Sejahtera (PMS). Kemudian 2 hektar akan dikembalikan kepada mereka untuk ditanami kelapa sawit, dan PT PMS tetap mengelola 5 hektar dari mana kemudian akan dibayarkan kepada mereka lima persen dari keuntungan bersih setiap tahunnya. Setengah hektar sisanya digunakan untuk tempat tinggal mereka. Tidak sampai enam tahun kemudian, pada tahun 2002, Yuniar diberikan bukan dua tetapi hanya satu setengah hektar, dan bukan dari lahan yang sebelumnya dia berikan. Keadaan semakin memburuk karena kemudian pemilik aslinya tidak mengijinkan Yuniar dan keluarganya untuk memanen kelapa sawit dari lahan tersebut. Saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat buruk, dan PT PMS harus bermerger dengan sebuah perusahaan Malaysia, Austral Enterprises Berhard, yang membentuk PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS). Golden Hope, salah satu pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia, kemudian mengambil alih operasi PT MAS pada tahun 2005.

Pada bulan Juni tahun ini, 800 petani mendatangi kantor bupati setempat, yang dianggap bertanggung jawab terhadap pemberian ijin kepada perusahaan-perusahaan untuk konsesi lahan.

“Ada sekitar 50 petani perempuan pada demonstrasi tersebut’, kata Yuniar. ‘Kami datang dengan anak-anak kami dan dari desa Kampuh, sembilan petani perempuan teman saya ikut dalam demonstrasi tersebut.

Walaupun ada tawaran baru dari Golden Hope, sengketa kepemilikan lahan tersebut belum terselesaikan.

Walaupun orang-orang tersebut nantinya bisa mendapatkan lagi lahan mereka, mata pencaharian mereka masih akan terancam oleh praktek-praktek tidak berkelanjutan dari perkebunan yang bisa mencemari air, udara, dan tanah sekitar. Sistem irigasi perkebunan tersebut meningkatkan tingkat kelangkaan air sehingga komunitas di sekitar kesulitan untuk mengairi lahan pertanian mereka. Tanah dan aliran air juga terkena polusi dari limbah pabrik dan sisa-sisa bahan kimia, yang membawa bencana bagi mereka yang berada di daerah bawah aliran sungai dari perkebunan tersebut; udara juga bisa tercemar oleh bahan-bahan kimia atau aktivitas pembakaran.

Pekerjaan yang tidak layak
Standar buruh di perkebunan sangatlah buruk. Para pekerja di perkebunan tebu di Brazil dibayar berdasarkan berapa banyak batang tebu yang mampu mereka potong – mereka hanya menghasilkan sekitar 1 dollar lebih sedikit dari setiap ton yang dipanen. Sistem pembayaran seperti ini secara sistematis mendiskriminasi para pekerja wanita yang pada umumnya tidak mampu memotong batang tebu lebih banyak dibandingkan kaum lelaki. Para pekerja juga ditempatkan di lingkungan kumuh tanpa akses air bersih dan diharuskan membeli makanan dan obat-obatan di daerah perkebunan tersebut dengan harga yang dinaikkan dari harga biasanya. Dalam beberapa kasus, lingkaran hutang-piutang mengikat para pekerja kepada perusahaan, yang mengakibatkan terjadinya perbudakan tenaga kerja. Shift, waktu kerja, dapat berlangsung selama 12 jam dalam temperatur di atas 30°C, dan 14 pekerja dilaporkan meninggal dunia karena keletihan saat bekerja pada masa panen tahun 2004/2005 dan 2005/2006.

Di perkebunan kelapa sawit di Indonesia, kaum perempuan wanita sering dipaksa bekerja tanpa dibayar untuk membantu suami mereka memenuhi kuota produksi. Padahal mereka juga masih harus mengurusi anak, memasak, mengumpulkan kayu bakar, dan mengambil air, yang karena luasnya wilayah perkebunan, mereka terpaksa harus berjalan kaki lebih jauh untuk melakukan tugas-tugas mereka tersebut. Pekerja perempuan di Indonesia secara rutin didiskriminasi dalam hal: perusahaan sering membayar mereka lebih rendah dari pekerja laki-laki hanya karena dikatakan pekerjaan mereka lebih mudah. Di Malaysia, sekitar setengah dari jumlah pekerja perkebunan adalah perempuan, dan biasanya direkrut untuk menyemprot herbisida dan pestisida. Sering sekali, pelatihan yang layak dan alat yang aman tidak tersedia cukup. Hal-hal tersebut berimplikasi besar bagi kesehatan jangka panjang mereka.

Sering juga para pekerja tidak dapat meningkatkan kondisi kerja mereka ke taraf yang lebih baik karena hak untuk mengorganisasi asosiasi tenaga kerja tidak diijinkan. Di Kolombia, aktivis-aktivis buruh kelapa sawit dibunuh dan disiksa. Di daerah-daerah lain di Amerika Latin, pembentukan asosiasi buruh dipersulit melalui hukum perburuhan yang lemah, intimidasi, dan rendahnya hak buruh.

Di Indonesia, walaupun pembentukan asosiasi buruh diperbolehkan secara hukum, International Trade Union Confederation (Konfederasi Asosiasi Buruh Internasional) mencatat praktek-praktek asosiasi buruh dilemahkan oleh intimidasi dan proses mediasi yang sengaja diperlama, yang ujung-ujungnya berakhir dengan demonstrasi dan pemogokan kerja. Dalam konteks ini, Musim Mas, perusahaan minyak kelapa sawit di Indonesia, tahun lalu memecat 700 pekerjanya karena terlibat demonstrasi dan pemogokan, yang secara tidak langsung membuat para pekerja dan 1000 anggota keluarga mereka kehilang rumah, dan mendropout anak-anak mereka dari sekolah.


Eksploitasi petani kecil
Sekitar 20 persen minyak kelapa sawit Indonesia diproduksi oleh para petani kecil, yang bisa memberi nafkah kepada 4,5 juta orang anggota keluarga mereka. Kebanyakan dari mereka berasal dari masyarakat lokal yang kehilangan tanah mereka untuk perluasan lahan perkebunan dan ‘dihadiahi’ lahan dua hektar untuk ditanami kelapa sawit. Para petani kecil ini terikat dengan perusahaan besar yang memberikan kredit saat persiapan lahan dan aktivitas pembibitan. Hutang ini kemudian berakumulasi selama delapan tahun pertama sebelum kelapa sawit yang ditanam dapat memberikan keuntungan, dan para petani diwajibkan menjual hasil panen mereka kepada perusahaan tempat mereka berhutang. Hal ini, dan fakta bahwa produk panen mereka harus diproses dalam waktu 48 jam, berarti bahwa para petani kecil ini tidak memiliki pilihan kepada siapa panen harus dijual. Hasilnya, bayaran yang mereka terima sangatlah jauh di bawah harga pasar, sering terlambat, dan sering masih harus dipotong dengan alasan-alasan yang tidak jelas.

Ketersediaan Pangan
Produksi biofuel menciptakan kompetisi sumber daya dengan bahan pangan dan produk pertanian lainnya. Laporan terakhir dari FAO (Organisasi Pangan PBB) dan Organization for Economic Co-operation and Development (Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi) memprediksikan harga bahan pangan global akan naik selama sepuluh tahun ke depan dalam kisaran 20 – 50 persen dibandingkan harga saat ini, dan menyebutkan biofuel sebagai salah satu pemicunya. Tentu saja, meningkatnya harga komoditi pertanian merupakan berita gembira bagi jutaan petani miskin yang telah menderita selama beberapa dekade karena stagnasi dalam pasar komoditi global. Tetapi tetap ada juga yang menderita.

Pada tingkatan rumah tangga, penduduk miskin dengan kemampuan terbatas untuk memanfaatkan peluang pasar biofuel ini terancam akan kekurangan bahan pangan. Pada level nasional, negara dengan pendapatan rendah yang bergantung pada impor bahan pangan juga akan terancam. FAO mendata ada 82 negara yang masuk dalam kategori ini, LIFDCs (Low Income Food Deficit Countries), yang separuhnya ada di Afrika, yang menurut data LIFDCs adalah dua per tiga dari populasi dunia. Ada berbagai alasan mengapa negara-negara ini sangat bergantung kepada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sebagian negara ini mengekspor komiditi tropis (seperti minyak kelapa sawit) dan mengimpor bahan pangan. Di negara-negara ini, tagihan import dapat dikompensasi dengan harga ekspor biofuel yang juga meningkat. Tetapi ada beberapa dari kelompok negara tersebut yang tidak mampu mengimbangi pendapatan hasil ekspor dengan melambungnya harga bahan pangan.

Negara-negara lain yang masuk dalam kategori LIFDCs tidak mampu memproduksi cukup bahan pangan karena alasan-alasan seperti konflik, lemahnya infrastruktur, faktor geografis, dan faktor cuaca. Untuk mereka, biofuel bukannya menawarkan peluang, tetapi justru ancaman.

Mungkin, ancaman yang lebih besar dari kenaikan harga bahan pangan adalah meningkatnya volatilitas (kecenderungan untuk mudah naik dan turun) harga. Penduduk miskin, yang menghabiskan lebih dari separuh penghasilannya untuk makanan, akan menjadi semakin tidak berdaya. Saat permintaan biofuel meningkat, harga bahan pangan dan minyak semakin berkaitan satu sama lain. Hal ini akan meningkatkan fluktuasi harga bahan pangan saat volatilitas dari energi berpindah ke pasar bahan pangan. Mandat konsumsi biofuel, seperti target sepuluh persen EU, hanya akan memperburuk volatilitas karena permintaan akan semakin kurang responsif terhadap kenaikan harga.

Kesimpulan: prinsip-prinsip sosial sangat dibutuhkan
Biofuel tidak harus membawa bencana bagi penduduk miskin – malah seharusnya menawarkan peluang-peluang mata pencaharian dan pasar yang baru. Tetapi model agro-industri yang sekarang ada tidak menawarkan peluang tetapi justru malah ancaman. Tanpa kebijakan yang tepat oleh perusahaan, pemerintah produsen, dan pemerintah pengimpor, berbagai dampak sosial negatif di atas akan semakin memburuk saat perlombaan produksi biofuel semakin intensif. Langkah-langkah yang harus dilakukan EU dalam memainkan peranannya adalah seperti yang tercantum di bawah ini.

Lebih banyak fleksibilitas
Memastikan aspek berkelanjutan harus didahulukan sebelum mencapai target sepuluh persen tersebut, dan tidak boleh didiamkan begitu saja. Proses formal, yang didasarkan pada penilaian dampak dan tinjauan terhadap ketersediaan bahan pangan yang dilaksanakan secara tahunan harus dilakukan supaya target tersebut dapat direvisi jika tidak dilakukan secara berkelanjutan.

Standard Sosial
Selain standar-standar lingkungan, EU harus menyusun standar-standar sosial yang dapat diterapkan terhadap seluruh aspek yang berhubungan dengan biofuel tanpa terkecuali, yang adalah:

  1. Seluruh pekerja, laki-laki dan perempuan, bekerja dalam kondisi yang layak sebagaimana didefinisikan oleh ILO (badan PBB untuk perburuhan)
  2. Budidaya tanaman tidak berdampak negatif kepada komunitas lokal dan penduduk asli.
  3. Petani kecil, laki-laki dan perempuan, diperlakukan secara adil dan transparan.
  4. Hak-hak untuk ketersediaan bahan pangan tetap dijaga.

Prinsip-prinsip dan kriteria yang menggarisbawahi produksi biofuel harus dibuat sebagai bagian dari proses inklusif yang melibatkan negara-negara produsen dan organisasi-organisasi yang mewakili mereka yang paling terkena dampak secara sosial: pekerja perkebunan laki-laki dan perempuan dan para petani kecil, komunitas lokal, dan penduduk asli. Standar-standar ini harus juga menyediakan sarana dimana para petani kecil bisa memperoleh sertifikasi, seperti skema sertifikasi kelompok.

EU harus menjamin bahwa reduksi emisi transportasi tidak akan dibayar oleh terancamnya mata pencaharian penduduk miskin. Untuk itu, ukuran-ukuran di atas harus dimasukkan dalam suatu bentuk perundang-perundangan EU. Jika tidak, EU harus sadar bahwa target sepuluh persen tersebut tidak akan tercapai secara berkelanjutan, dan untuk itu target tersebut harus dibatalkan.

(Sumber: Diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris -http://www.oxfam.org/en/policy/briefingnotes/bn_biofuelling_poverty_0711)

Tidak ada komentar: