Kamis, 08 November 2007

Bisnis Popoluar ?????

From: Dedy Suryana - AD2 [mailto:Dsuryana@capcx.com]
Sent: Thursday, November 08, 2007 10:56
To: Anak-Cilegon@yahoogroups.com
Subject: RE: [Anak-Cilegon] Fwd: Waspadai "Gelombang Cinta"

100% saya sependapat.

Setelah bisnis ikan LOHAN TIDAK LAGI POPULER, muncul kemudian bisnis LAT (Lobster Air Tawar) melalui Majalah Trubus sebagai Media Iklan komplit dengan keterangan pengusaha sukses didalamnya. (Keterangan tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan karena bersumber dari dirinya / bukan dari pencari berita dan tanpa ada bukti pembukuan)

4 tahun lalu, saya pernah beternak LAT (Lobster Air Tawar) dengan modal:

Bibit LAT: Rp 2.1 Juta terdiri atas 3 Jantan & 5 Betina berukuran panjang 4 inchi.

Aquarium, Aerator, pembuatan kolam pemijahan, pakan, filter, obat – obatan, serta pengatur pH air.

Total biaya: Rp 8 jutaan

Lokasi: Daerah Cakung – Jakarta

Konon dia bersedia pula membeli anakannya kelak dengan harga cukup menggiurkan.

Kira – kira 6 bulan kemudian, banyak penjual ikan hias di Grha Cijantung jual LAT dengan harga cukup Rp. 5 ribu saja.

Kemudian saya coba kontak telpon ke tempat pembelian, dijawab: “Tidak lagi bisnis LAT”

So… Friends,

Bisnis yang real sajalah

(Kayaknya cuma di Indonesia ada trend seperti ini,…. Coba tengok negara – negara maju, gak ada tuh…)


From: Anak-Cilegon@yahoogroups.com [mailto:Anak-Cilegon@yahoogroups.com] On Behalf Of A Ihsan
Sent: Thursday, November 08, 2007 10:17 AM
To: anak-cilegon@yahoogroups.com; wongbanten@yahoogroups.com
Subject: [Anak-Cilegon] Fwd: Waspadai "Gelombang Cinta"

Subject: AWAS!!! Waspadai "Gelombang Cinta"

Date: Thu, 8 Nov 2007 09:15:01 +0700

Sumber: Kedaulatan rakyat online.
----------------------------------

Mewaspadai Wabah "Gelombang Cinta"

SETELAH masa booming bisnis ikan lohan berlalu, kini masyarakat
menghadapi kesibukan baru, yakni wabah gelombang cinta! Jenis tanaman
hias itu seolah menjadi sihir baru yang mampu menggerakkan hati
orang-orang yang sebelumnya bahkan tidak punya ketertarikan sama sekali
terhadap tanam-tanaman.

Kini banyak orang rela menginvestasikan jutaan rupiah untuk berbisnis
tanaman hias jenis anthurium. Bahkan ada bupati yang mencanangkan
wilayahnya sebagai "Kabupaten Anthurium".

Maraknya bisnis tanaman hias dengan maskot "gelombang cinta" merupakan
fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian. Bagaimana pun fenomena
itu perlu disikapi secara kritis agar masyarakat lapis bawah tidak
menjadi korban permainan orang-orang yang hanya memikirkan keuntungan
dirinya.

Masyarakat perlu diberikan pencerahan bahwa bisnis tanaman anthurium
adalah kegiatan yang tidak masuk akal (irasional) dan berpotensi menjadi
wabah yang dapat menggerus ekonomi mereka dalam jumlah jutaan rupiah.
Masyarakat lapis menengah bawah sedang disiapkan menjadi korban
sembelihan kalangan penjudi kelas kakap.

Melalui artikel ini penulis akan menjelaskan beberapa hal yang terkait
dengan fenomena bisnis tanaman anthurium. Diharapkan agar tulisan ini
dapat memberikan pencerahan dan menumbuhkan sikap kritis masyarakat
terhadap fenomena yang dalam istilah sebuah surat kabar nasional disebut
sebagai dunia dongeng.

Masyarakat Aleman
Merebaknya bisnis tanaman hias anthurium dengan berbagai variannya tidak
lepas dari karakter masyarakat Indonesia yang aleman (kolokan),
masyarakat yang suka disanjung dan dipuji, masyarakat yang lebih
mengutamakan "wuah" dari pada akal sehat.

Karena sifat alemannya itu banyak orang yang sebenarnya tidak mampu,
bahkan untuk makan sehari-hari saja pas-pasan, namun tetap
menyelenggarakan hajatan besar untuk perkimpoian atau pun khitanan.
Karena sifat aleman itu maka banyak warga kalau membeli barang tidak
didasarkan atas nilai kegunaan, tetapi lebih untuk pencitraan.

Dalam hal pembelian HP (hand phone) misalnya, masyarakat kita sangat
senang mengikuti trend tanpa mempedulikan efektivitas dan efisiensi.
Maka kepemilikan HP masyarakat Indonesia tergolong mewah, bahkan mungkin
orang-orang Eropa yang pasca sejahtera pun HP-nya kalah mewah dengan
milik masyarakat kita.

Kondisi masyarakat yang aleman itu dipahami betul oleh para pelaku
bisnis. Oleh sebab itu inovasi produk untuk pasar Indonesia sangat cepat
dan hampir pasti setiap hasil inovasi laku keras karena kita selalu
bangga memiliki model baru.

Alam kejiwaan sosial yang demikian ditangkap oleh pelaku bisnis sebagai
peluang besar yang harus dimanfaatkan. Pebisnis yang bergerak dalam
produk manufaktur tentu akan menyuplai barang-barang konsumsi
masyarakat.

Sedangkan spekulan akan bermain di ceruk yang mereka anggap potensial
untuk mendatangkan keuntungan. Uji coba bisnis ikan Lohan yang sempat
menembus harga ratusan juta rupiah rupanya memberi inspirasi kepada para
spekulan untuk bermain dalam jenis barang yang lain.

Tanaman hias anthurium tampaknya menjadi pilihan tepat bagi kaum
spekulan untuk memainkan alam kejiwaan sosial masyarakat Indonesia yang
aleman tadi menjadi sumber keuangan mereka. Perhitungan mereka ternyata
tepat, masyarakat berhasil dimainkan alam kejiwaannya sehingga tidak
lagi rasional dalam melihat kenyataan.

Masyarakat seolah telah tersihir bahwa bisnis anthurium pasti memberi
citra yang bagus dan keuntungan finansial sangat tinggi! Akibatnya
banyak pendatang baru dengan relasi terbatas, pengetahuan pas-pasan,
rela menjual aset lain untuk diinvestasikan di bisnis 'gelombang cinta"
dengan harapan memperoleh sesuatu yang serba "wah", yaitu duit banyak
dan citra bagus!

Siapa Kaum Spekulan?
Jika dicermati secara seksama tren bisnis yang sifatnya spekulatif itu
muncul sejak dihapusnya Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) dan
sejenisnya oleh pemerintah.

Kalau melihat waktu kemunculannya yang demikian itu patut diduga bahwa
pentholan (tokoh utama) yang bermain di balik bisnis spekulatif itu
adalah para mantan bandar era SDSB. Indikasi lain mengenai dugaan itu
adalah pola kerjanya yang sistematis, dan sangat terorganisasi.

Sama seperti waktu pengembangan bisnis ikan Lohan, untuk bisnis
anthurium ini pun pola kerjanya sama, yakni lewat mekanisme pameran dan
muncul para dolob yang membeli barang dengan harga tinggi, kemudian ada
rekayasa pencitraan melalui media massa sehingga masyarakat terpengaruh.

Untuk menggerakkan keterlibatan masyarakat maka muncul dolob-dolob yang
berfungsi sebagai pembeli perantara di lapangan. Para dolob itulah yang
berperan memainkan harga sehingga masyarakat percaya bahwa pasar tanaman
hias anthurium itu memang terbuka luas. Masyarakat tidak sadar bahwa
dirinya sedang dijebak masuk dalam model bisnis spekulatif.

Praktik bisnis tanaman hias anthurium menggunakan pola yang dikembangkan
dalam model Multi Level Marketing ( MLM) yang mulai dikenal di Indonesia
sejak awal 1990-an.

Tanpa disadari dalam bisnis tanaman anthurium dengan segala variannya
itu ada hirarkhi up line dan down line, peristis (pioneer), dan pengikut
(follower). Mereka yang berada pada posisi upper jelas akan mendapat
keuntungan finansial yang berlipat ganda. Begitu juga down line tingkat
satu sampai dengan tiga masih dapat merasakan keuntungan yang lumayan
baik.

Tapi semakin ke bawah tingkatannya, akan semakin sedikit yang bisa
diperoleh, dan down line paling bawah yang jumlah paling banyak akan
menjadi korban. Begitulah yang juga dialami dalam bisnis ikan lohan akan
terulang dalam bisnis tanaman anthurium. Oleh sebab itu masyarakat perlu
bersikap kritis dan mewaspadai potensi bisnis tanaman gelombang cinta
akan berubah menjadi wabah sosial yang dapat menggilas masyarakat bawah.

Solusi
Bagaimana meminimalisasi risiko negatif dari bisnis gelombang cinta?
Salah satu pilihannya adalah melakukan edukasi pada masyarakat untuk
berpikir rasional. Masyarakat perlu diajak berpikir apa manfaat tanaman
itu dalam kehidupan sehari-hari, apakah bisa untuk bahan bangunan, apa
dapat menjadi bahan obat-obatan, atau adakah manfaat lain yang
betul-betul fungsional? Kalau ternyata hanya sebagai tanaman hias dan
pemuasan semata, mengapa kita perlu membelinya dengan harga sangat
tinggi?

Nilai tambah apa yang kita dapatkan dengan memiliki tanaman anthurium?
Kalau sekadar citra agar tidak dianggap katrok dan ketinggalan zaman,
mengapa mesti dikelabuhi dengan harga tinggi? Masih banyak peluang lain
untuk menginvestasikan uang yang lebih besar manfaatnya bagi masyarakat
luas.

Terlalu egois kalau di tengah banyak penderitaan dan meningkatnya jumlah
orang miskin masih ada orang yang membelanjakan uangnya untuk sebuah
kesenangan sesaat. Sudah waktunya kita lebih bersikap rasional dalam
menghadapi kenyataan hidup, bukan dengan mimpi-mimpi. q - s.
(2317-2007).

Penulis, A Darmanto, Bekerja di BPPI Yogkarta, Mahasiswa Program Studi
MAP Pascasarjana UGM.
Sumber: Kedaulatan rakyat online.

Tidak ada komentar: