Oleh Anita Yossihara dan Ahmad Arif
JALAN itu mulus. Aspal hitam melapisi permukaannya. Asap cerobong pabrik
kimia memagari tepiannya. Seorang lelaki renta menggiring lima kerbau di
sana.
Seorang anak muda memungut botol bekas di saluran air. Lelaki renta
menyapa, kemudian berlalu. Ia bergegas mengiringi kerbau-kerbaunya. Jalan
mulai menanjak.
Sukra, nama lelaki itu, berhenti di rumahnya. Rumah renta, setua usianya
yang 84 tahun. Dari beranda rumahnya, jantung Kawasan Industri Pancapuri,
Cilegon, Banten, terlihat jelas. Saat malam, cahaya lampu pabrik berpendar
seperti bintang.
Pabrik-pabrik itu teramat dekat dengan Sukra, tetapi terasa jauh. Sukra
tak pernah mencicip legit kerja di proyek, apalagi bekerja di pabrik.
Janji-janji kemudahan lapangan kerja pada awal pendirian pabrik hanyalah
pepesan kosong.
Pada kerbau-kerbau itulah harapan Sukra disandarkan. Seekor kerbau
miliknya, empat ekor milik orang lainnya. Sukra tak pernah membedakannya.
Melihat Sukra dengan kerbau-kerbaunya mengingatkan pada fragmen Saijah dan
Adinda dengan kerbau-kerbau mereka, seperti yang ditulis Multatuli—nama
samaran Douwes Dekker—dalam Max Havelaar, tahun 1860. ”... kemudian
larilah ayah Saijah meninggalkan desanya. Sebab, ia merasa sangat takut
dijatuhi hukuman jika sampai ia tidak membayar pajak tanahnya. Padahal, ia
sudah tidak mempunyai peninggalan apa-apa lagi untuk membeli kerbau baru,”
tulis Douwes Dekker. Berulang kali, kerbau-kerbau ayah Saijah dirampas
oleh Kepala Distrik Parungkujang, Lebak. Dalam pelariannya, ayah Saijah
kemudian ditangkap dan mati di penjara. Pada akhir fragmen, seluruh
tokohnya mati.
Fragmen itu menuturkan kemiskinan dan penderitaan rakyat Banten karena
diisap penguasa pribumi yang bersekutu dengan penjajah
Belanda.
Penderitaan yang bermula dari diambilnya kerbau, harta paling berharga
bagi petani.
Tanpa kerbau, mereka tak bisa menggarap ladang. Tanpa
panenan, mereka tak bisa membayar pajak.
Hampir 150 tahun kemudian, fragmen itu terasa masih relevan untuk
menggambarkan satu sisi wajah Banten. Bahkan, sering kali fragmen itu
menemukan bentuknya yang lebih pedih. Jika dulu yang dirampas adalah
kerbau, saat ini petani kehilangan tanah.
TanahBojonegara, pesisir barat Banten, siang itu sangat panas.
Matahari kemarau
mencipta tanah retak. Ramsiah (45) menyiram tanaman timun suri dari sumur
gali di tengah sawah. Bulan puasa hampir tiba, bulan di mana Ramsiah bisa
menjual timun suri sebagai makanan berbuka.
Ramsiah berpeluh, tetapi tak mau berhenti.
Sawah warisan satu-satunya itu
sudah bukan miliknya lagi. Ramsiah menunggu waktu sebelum ladangnya
diambil untuk diubah menjadi pabrik.
KesenjanganDua ratus tahun sejak Herman Willem Daendels menginjakkan kaki di tanah
Banten, Januari 1808, wajah luar kawasan di ujung barat Pulau Jawa ini
berubah banyak. Dimulai ketika tahun 1970-an ketika pemerintah membangun
kawasan industri di sana. Pabrik raksasa menjamur, sebagian di antaranya
perusahaan asing. Hingga akhir tahun 2007, sedikitnya ada 1.500 industri
di Banten.
Pendapatan domestik regional bruto (PDRB) di Banten pun terdongkrak dengan
maraknya industri. Tahun 2002 nilai PDRB Banten Rp 60,35 triliun. Setahun
kemudian meningkat menjadi Rp 66,87 triliun. Tahun 2004 melompat menjadi
Rp 75,56 triliun, tahun 2005 naik lagi menjadi Rp 83,77 triliun. Setahun
kemudian semakin tinggi, Rp 94,41 triliun.
Namun, pesatnya pertumbuhan industri yang diiringi PDRB Banten tak
berbanding lurus dengan kesejahteraan warganya. Sebagian besar warga belum
terserap ke industri. Mereka yang bekerja di sektor industri kebanyakan
juga di level rendah, seperti tenaga buruh, petugas satpam, dan pegawai
rendahan.
Banten tetap menjadi salah satu provinsi termiskin di Pulau Jawa. Data
Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2006 menunjukkan, jumlah penduduk
miskin di Banten mencapai 904 keluarga (9,79 persen). Dari sekitar 6,1
juta pekerja, 51,39 persen bekerja di sektor informal dan 26,91 persen di
antaranya bekerja di
sektor pertanian. Industri pengolahan yang merupakan
penyumbang terbesar PDRB hanya bisa menampung 22,85 persen
tenaga kerja.
Angka ini lebih kecil dibandingkan pengangguran yang mencapai 28,01
persen.
Kondisi itu terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan dan kompetensi
penduduk Banten. Dari 7,1 juta penduduk usia kerja, 32,18 persen di
antaranya hanya lulus SD. Sebanyak 26,8 persen tidak tamat SD, lulusan SMP
17,54 persen, lulusan SMA 15,7 persen, lulusan SMK 3,89 persen, diploma
1,89 persen, S-1 1,86 persen, serta S-2 dan S-3 0,1 persen.
Jika sebagian besar warga menggantungkan hidupnya pada pertanian karena
memang tak sanggup masuk ke sektor industri, apa jadinya jika lahan
pertanian rakyat itu terus menipis karena diambil alih industri?